Om Suastiastu

Rabu, 16 Mei 2012

kosmologi dan mitologi



KOSMOLOGI DAN MITOLOGI ARSITEKTUR DI BALI
ARSITEKTUR BALI
Arsitektur Bali diwujudkan pada bangunan tempat ibadah (pura), tempat musyawarah (Bale Banjar), dan tempat tinggal yang masing-masing dilengakapi tempat penyimpanan. Baik  Pura, Bale Banjar, maupun tempat tinggal membentuk masa bangunandidalam suatu pekarangan berdasarkan falsafah dan konsep tata-ruang mengikuti pedoman dari rontal-rontal para undagi. Komposisi, proporsi, kesatuan, harmoni, kenyamanan serta keindahan sebagai unsure-unsur arsitektur modern terwujud sempurna dalam arsitektur Bali.
            Denah bangunan berukuran kecil dengan bentuk kecil dengan bentuk yang pasti, bujur sangkar atau persegi empat. Tipe bangunan terbagi menurut jumlah tiang, mulai dari tiang empat, tiang enam, tiang delapan, tiang Sembilan dan tiang dua belas. Penyelarasan bertingkat (kepala-badan-kaki) diterapkan sampai kedeatail terkecil dari suatau bangunan. Secara struktural atap adalah kepala, tiang dan dinding sebagai badan, lantai batur sebagai kaki bangunan. Keseluruhan structural bangunan membentuk kesatuan kontruksi yang setabil, estetis, fungsional dan tahan gempa. Hubungan elemen-elemen kontruksi hanya memakai pasak, baji dan tali sehingga mudah untuk dibongkar-pasang.
            Baik Pra, rumah atau banjar semuanya dikelilingi pagar tembok, Pagar masif (penyengker) yang dipadu candi bentar, kori atau kori agung adalah bagian yang tidak terpisahkan, sebagai ekspresi citra tata ruang yang tinngi nilai budayanya. Penyengker dipercaya sebagai wujub perlindungan empat kekuatan alam (air,api, tanah, udara) yang menempati sudut-sudut pekarangan. Dalam hal ragam hias sebagai cirri khas  arsitektur Bali mengambil tiga bentuk kehidupan makhluk bumi (manusia, flora dan fauna). Unsur-unsur estetika, etika dan logika mendasarai pengolahan dan penempatan ragam hias, denagn mengingat nilai –nilai ritual yang disandangnya.
Arsitektur diartikan perwujudan ruang dan waktu, dalam pengertian tradisional masih terkandung faktor  keadaan yang disebut “Desa-Kala-Patra” dalam hubungannya dengan aktifitas manusia budaya.
            Tradisional adalah kecenderungan untuk mewujudkan tatacara tanpa mengadakan perubahan, berthan atas kesepakatan turun menurun. Maka, arsitektur tradisional  adalah perwujudan ruang untuk fungsinya disetiap waktu berpedoman pada aturan tata cara yang telah memasyarakat dalam hubungannya dengan perwujudan bentuk-bentuk arsitektur.
            Asta Kosali dengan berbagai sebutan lainnya merupakan pedoman pokok pelaksanaan arsitektur tradisional Bali yang mengandung:


1.Aturan yang terkandung dalam  arsitektur tradisional.
2. Tata cara mengunakan material  proses pembangunan pengurip, pemelaspas, dan pemakaiannya.
3.Kemampuan pengalaman yang turun –menurub untuk peneran selanjutnya.
            Arsitektur tradisional dapat mendekatakan manusia dengan alam lingkungannya yang dijumpai dalam: “Panacamaha Bhuta” yang merupakan lima unsure pokok yang mewujudkan jagad raya ini (makro kosmo) dan manusia (mikro kosmo). Kelimanya adalah:apah, teja, bayu pertiwi, akasa.
            Menurut Robert Geldern,1982; “hal-hal meta fisik di Asia Tenggara (India, Muangtai, Myanmar, Indonesia) yang berupa konsep keseimbangan antara mikro kosmo dan makro kosmo “. Penerapan konsep ini di Bali, arsitek disebut sebagai undagi dan pedoman perancangan karya-karya arsitektur.
Nilai tata lingkungan ditujukan  dalam konsep tradisional  yang dijumpai dalam Nistya, Madya, utama dalan arah horizontal maupun vertical. Nilai utama diberikan pada arah “kaja” yaitu kearah gunung. Nilai nista diberikan pada arah “kelod” yaitu kearah laut. Nilai ” Madya” (sedang)diberikan pada bagian tengah. Denagn demikian, tata nilai ruang tradisional berlaku menrus pada pola lingkungan tersebar sampai elemen terkecil.



LATAR BELAKANG SEJARAH RUMAH BALI
                Kebubudayaan Bali Mula merupakan kebudayaan yang masih sederhana dari benda-benda alam disekitarnya. Bali aga mengembangkan kebuday`an dengan bembentuk benda-benda alam dalam satu susunan yang harmonis dalam fungsinya menjaga keseimbangan manusia dengan alam dan lingkungannya. Kebudayaan Bali mula tidak banyak meninggalkan peninggalan budaya mengingat kayu-kayu dan bebatuan yang dipakai sebagai bahan perwujudan Arsitekturnya kurang tahan terhadapa iklim tropis pada kurun waktu yang lama. Peninggalan-peninggalan kebudayaan Bali Aga masih dapat ditemukan di beberapa tempat seperti Gunung Kawi, Tirta Embul, Gua Gajah, dan beberapa tempat di Bedulu sebagai lokasi pusat kerajaan pada masa Bali Aga.
                 Kebo Iwa merupakan arsitek besar pada masa Bali Aga yang meninggalkan beberapa data arsitektur , diantaranya adalah konsep Bale Agung yang sampai sekarang merupakan bagian dari setiap desa adat Bali, Dalam lontarnya diungkapkan teori-teori Arsitekturnya yaitu bangunan seperti pertahanan perang, dan pemanfaatan sungai sebagai potensi site.
                Empu Kuturan Sebagai budayawan besar mendampingi Anak Wungsu yang memerintah Bali sekitar abad ke-11, juga merupakan seorang Arsitek yang banyak meninggalkan teori-teori Arsitektur, sisiologi, adat dan agama. Tata pola desa adat, Khyangan Tiga, Meru dan pedoman-pedoman upacara keagamaan lainnya merupakan karya dari Empu Kuturan.
                Dang Hyang Nirartha atau disebut juga Hyang Dwijendra atau Pedanda sakti Wawurauh merupakan budayawan besar pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong sekitar pada abad ke-14 ( masa Majapahit menguasai Bali). Beliau merupakan Arsitek besar dengan peninggalan konsep-konsep Arsitektur, agama, dan pembaruan diberbagai bidang budaya lainnya. Padmasana merupakan konsep beliau untuk banguanan menuju Tuhan Yang Maha Esa. Tirtayatra merupaka sebuah budaya di Bali yang berarti perjalanan suci atau keagamaan. Tirtayatra ini juga merupakan peninggalan dari Dang Hyang Nirartha, bermula dari perjalanan keagaman beliau mengelilingi pantai di Bali, dilanjutkan menuju Lombok dan Nusa Tenggara Timur, perjalanan ini menuju ke pura-pura di daerah-daerah tersebut.
                Setelah kerajaan Waturegong menyebar keseluruh Bali (sekarang masing-masing sebagai ibu kota kabupaten) Arsitek tradisional tidak lagi menokohkan dirinya< karena adanya pedoman berdasarkan teori Kebo Iwa, Hyang Nirartha, dan Empu kuturan yang dikembangkan oleh para undagi (tukang).
                Dewanya undagi adalah Asta Kosali sebagai teori pelaksanaan bangunan Tradisional Bali. Setelah Bali dikuasai Kolonial Belanda, Arsitektur Tradisional mangalami pengaruh asing yang disesuaikan dengan Arsitektur Tradisional yang telah ada. Bangunan-bangunan seperti wantilan, loji dan hiasan-hiasan seperti Patra Cina, Patra Mesir, Patra Olanda.



KESENIAN

                Dalam kehidupan masyarakat Bali kesenian adalah sebagian dari hidupnya, Kesenian sebagai bagian dari kebudayaan, sebagaimana kebudayaan, kesenian juga lahir dari hubungan manusia dengan alamnya.
                Kesenian dengan cabang-cabang, yaitu; seni rupa, seni gerak (tari) dan seni suara (musik), perwujudannya mencerminkan hubungan manusia dan alam lingkungan. Senu rupa alam, manusia, alam dan manusia dalam berbagai macam bentuknya.
                Senu sura (music) disuarakan oleh manusia dengan suaranya atau alatnya mengambil pula suara-suaraalam atau isi isi alam. Seni gerak yang umumnya disajikan dalam bentuk seni tari pada dasarnya mengambil gerakan-gerakan alam atau isi alam.


Seni dalam perwujudannya ada yang ditampilkan dalam bentuk cabangnya, ada juga yang merupakan gabungan. Pada seni tari terkandung unsure kesenirupaan pada ragam hiasnya, seni suara pada tembang atau dialog dan gamelan pengiring, seni gerak pada sikap gerak-gerik tarinya. Keseluruhann merupakan kesatuan bentuk penyajian yang harmonis, dinamis, dan artistic energic.
                Dari sebagian kehidupan masyarakat menyertai pula masyarakat dalam bentuk aktivitasnya. Ada seni sacral yang hanya untuk kepentingan keagamaan, ada seni provan untuk dimasyarakatkan atau dikomersilkan dalam batas-batas kewajaran. Berbagai seni tercerminkan dalam Arsitektur, Arsitektur akrab dengan berbagai bentuk seni (sumber:I Nyoman Gelebet,1986)

A.TIPOLOGI ARSITEKTUR BALI
                Berdasarkan jenis-jenis bangunan Bali, tipologi bangunan dibagi menjadi empat yaitu rumah tempat tinggal, tampat pemujaan, bangunan tempat musyawarah dan babgunan tempat penyimpanan.

a.Rumah Tempat Tinggal
 Tipologi bangunan tradisional Bali umumnya disesuaikan dengan tingkat-tingkat golongan utama, madia dan sederhana. Tembok penyengker (batas) pekaranagan , kori dan lumbung dalam bangunan perumahan typologinya disesuaikan dengan tingkatan perumahan dan fungsinya masing-masing.

                    Jenis banguan tempat tinggal menurut tipologi Arsitektuer Tradisional Bali
Golongan Utama
·         Astasari
Diklasifikasikan sebagai bangunan utama dalam fungsinya sebagainya sanggah. Fungsinya untuk Bale Sumanggen (bangunan tempat upacara adat, tamu dan tempat bekerja serbaguna) . Bentuk bangunan segi empat panjang dengan luas bangunan sekitar 4m X 5m, tinggi lainya sekitar 0,60 m dengan tiga atau empat anak tangga kearah natah. Dinding sebelah timur dan selatan tertutup penuh, setengah tinngi pada sisi barat, dan pada sisi utara terbuka kearah natah.


·         Tiangsanga
Bangunan utama di perumahan utama. Bentuk dan fungsi bangunan serupa dangan astasari, hanya saja jumlah tiangnya lebih banyak yaitu sembilan. Penutup atap limasan dengan puncak dedeleg, penutup dengan dengan alang-alang. Fungsinya utama bangunan ini adalah untuk Sumanggeng tetapi dapat juga digunakan sebagai ruang tidur dengan tembok di tengah sebagai pemisah antara ruang tidur dan ruang duduk.

·         Sakaroras
Bentuk bangunan bujur sangkar dengan kontruksi atap limasan berpuncak satu dengan jumlah tiang dua belas. Bangunan sakaroras juga disebut juga Bale Murdha apabila hanya satu balai-balai yang mengikat empat tiang dibagian tengah,  disebut gunung rata apabila difungsikan sebagai bale meten (ruang tidur) dengan dedeleg sebagai puncak atap.
Penyelesaian detail kontruksi bangunan sakaroras, Tiangsanga dan Astari  dihias dengan ornamen-ornamaen dekoratif. Tiang-tiang dihias dengan kekupaken paduraksa tagok, caping, ulur lelengisan ataupun diukir. Puncak atap bagian dalam ruangan dengan petaka atau dedeleg juga dihiasi dengan lelengisan ataupun ukiran sendi tugeh pepindahan Garuda Wisnu atau Singa Ambara Raja.


Golongan Madia


·         Sakutus
Diklasifikasikan sebagai bangunan tunggaldengan fungsi tunggal sebagai ruang tidur yang disebut bale meten. Bentuk bangunan persegi panjang dengan delapan tiang, yang dirangakai menjadi empat-empat. Kontruksi atap dengan system kampiyah bukan limas an difungsikan untuk sirkulasi udara selain udara yang datang melalui celah antara atap dan kepala tembok.
Dalam  variasinya sakutus diberi atap tonjolan di atas depan pintu. Lantai dari sakutus lebih tinggi dari bangunan lainnya untuk estetika.

Golongan Sederhana

·         Sakenem
Bangunan yang termasuk perumahan tergolong sederhana bila bahan dan penyelesaian sederhana. Dapat pula digolongkan madia bila ditinjau dari penyelesaian untuk sakenem yang dibangun dengan bahan dan cara madia.


·         Padma
Fungsi utamanya adalah untuk tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa. Bentuk yang lengkap, madia dan sederhana masing-masing disebut dengan padmasana. Bentuk bangunan serupa dengan candi yang dikembangkan lengkap dengan pepalihan. Bentuk dasar padmasana adalah bujur sangkar dengan tinggi 5m dengan dimensi 3m X 3m. Bahan menngunakan batu alam.
·         Gedong
Bentuknya serupa dengan tugu, hanya pada bagian kepala terbuat dari kontruksi kayu degan bahan penutup atap berupa alang-alang, ijuk ataupun bahan lainnya yang dapat disesuaikan dengan bentuk dan fungsinya.
·         Meru
Bentuknya menonjolkan keindahan atap yang bertingkat-tingkat yang disebut atap tumpang. Jumlah tumpang atap selalu ganjil, meru tumpang telu, tumpang lima, tumpang pitu, tumpang songo, tumpang sewelas sebagai tingkat tertinggi. Bentuk-bentuk  Meru merupakan kontruksi rangka diatas bebaturan (badan) merupakan kontruksi tahan gempa, dibandingkan degan candi atau bentuk-bentuk bangunan pemujaan yang tinggi.

c.Bangunan Tempat Musyawarah


                Bangunan tempat musyawarah adalah bangunan-bangunan terbuka dengan bentangan ruang yang cukup luas sesauai dengan jumlah pemakaiannya. Bangunan juga mudah dialih fungsikan sehubungan dengan fungsi-fungsinya yang serbaguna.

·         Bale Sakenem
Bangunan bertiang enam, dengan balai-balai yang mengikat keenam tiang. Pimpinan musyawarah duduk disalah satu  sisi menghadap ketengah. Pangkal kaki tiang tanpa pen/purus menumpu pada sendi alas tiang. Atap menggunakan kontruksi atap limas an dengan penutup atap alang-alang.
·         Bale lantang
Bentuk bangunan seruoa dengan sakenem, dua deret tiang kea rah panjang kelipatan dua, delapan tiang, sepuluh tiang atau lebih banyak untuk bangunan lebih panjang. Bangunan Bale Lantang banyak dipakai tempat untuk beraktifitas.
·         Bale Gede
Bangunan bertiang dua belas, berpuncak satu susunan tiang empat-empat tiga deret. Empat tiang sederet di bagian teben tanpa sunduk, ikatan kepala tiang dengan sanga wang.
·         Bale mandapa
Banguan pokok bertiang dua belas serupa bale gede dengan kemungkinan variasinya. Bale Mendapa dengan lantai utama dua belas tiang dan lantai teras dua belas tiang sejajar sepanjang sisi bangunan. Bale mendapa ini difungsikan untuk sumanggen, yang lebih mengutamakan fungsi untuk upacara adat.

·         Bale Matumpang
Pengertian matumpang adalh bertingkat, Gedong dan Meru yang bertingkat adalah atapnya, bale metumpang atapnya bertingkat untuk wantilan. Untuk menyangga kontruksi atap tumpang, dibutuhkan kontruksi khusus untuk atap tumpang pada wantilan.
d. Bangunan Tempat Penyimpanan
·         Kelumpu
Bangunan dengan denah segi empat tiang empat atau enam, memakai atap pelana. Ruang terkurung dari atas balai-balai sampai kea tap. Memasukkan padike dalam ruang penyimpanan dari sisi banguanan.
·         Jineng
Bangunan tempat penyimpanan padi dengan denah segi empat, Ruang tempat penyimpanan di bagian atas pada sisi atap yang lengkung. Ruang dibawahnya untuk tempat bersantai atau duduk-duduk. Struktur dan kontruksinya menggunakan system struktur bangunan bertingkat.
·         Gelebeg
Bentuknya serupa dengan jineng, hanya saja gelebeg menggunakan tiang enam atau delapan. Perbedaan jineng dan gelebeg adalah pada gelebeg tempat penyimpanan mulai dari bawah sampai ke balai-balai atau atap.
·         Kelingking
Kelingking adalah penggandaan bangunan tipe lumbung atau kelumpu dengan dimensi yang lebih luas. Bahan penutup atapnya biasana alang-alang untuk sirkulasi udara yang baik. Dimensi-dimensi disesuaikan dengan pembebanan stabilitas dan keindahan.
·         Gedong Simpen
Struktur dan kontruksinya disesuaikan dengan benda yang disimpan di dalamnya. Fungsinya adalah untuk menyimpan benda-benda ritual dan sacral. Benda-benda ritual seni tari seperti wayang gong, kostum barong, rangda dan lain-lainnya juga membutuhkan gedong simpen.

KONSEP PENDEKATAN BANGUNAN TRADISIONAL BALI
1.Pola Natah

Pola natah yang juga merupakan pola yang membentuk core (pusat) secara bersama. Pola ini biasanya juga disebut sebagai “pola papan  catur”. Dimana suatu pekarangan dibagi menjadi Sembilan bagian, dengan arah kajakangin (timur laut) sebagai arah tutama pada kesembilan bagian tersebut . Dan arah tengah merupakan pusat (poros) yang mengikat keseluruhan dari bangunan –bangunan yang ada pada satu unit hunian tersebut. Daerah tengah (poros) tersebut diberi nama natah sehinnga pola ini sering disebut sebagai pola natah. Adapun pembagian kesembilan arah dalam pekarangan

2.Tri Angga 






Bangunan tradisional diatur dalam upacara agama. Bangunan , alam semesta dipandang sebagai bhuwana agung hakekatnya. Bhuwana alit sama dengan bhuwa agung hanya dengan skala yang berbeda. Dalam bangunan seperti bale-bale seperti :bale meten, bale dangin, bale dauh, dan lain-lainya,dipandang sebgaia miniature dari bhuwana agung dengan menampilkan tiga unsure: atma, sarira, tri kaya.
Unsur tersebut merupakan konsep perwujutan bangunan perumahan tradisional
Bangunan pemenjaraan (suci), dapat dipandang sebagai intinya atau atma perumahan.
Pekarangan, pelembangan dan segala perwujudannya dapat dipandang sebagai sarira atau awak ,badan bangunan atau fisik.
Pawongan (orang-orang yang tinggal) dapat dipandang sebagai Tri Kaya.
Kemanunggalan ketiga unsure : Pemerajaan atau tempat suci,Pelemahan dan Pawongan disebut sebagai “Tri Hita karana”. Dus Tri Hita karana menjadi konsep perwujutan bangunan tradisional yang dibagi atas tiga bagian:



Konsep utama,madya,nista: Tria angga ini merupakan konsep dasar perwujudtan bale-bale tradisional Bali (bangunan tradisional Bali).
            Masyarakat bali mempercayai bahwa “ketinggian” adalah untuk para dewa. Dunia tengah untuk manusia dan’ kedalaman’ (dunia bawah)untuk roh-roh jahat. Hal ini wajar bagi orang Bali yang hidup sangat dekat dengan alam untuk memandang’ alam dalam arti’magis dan spiritual.
            Sejak dulu masyarakat Bali senang beranggapan tentang alamsemesta yang tentram membentang dari surga ditas gunung menuju kekedalaman laut. Segala sesuatu dialam memiliki arah, kedudukan dan tempat. Segala dianggap suci atau sacral dihubungkan dengan ketinggian, gunung-gunung dan arah ke hulu melalui gunung Agung,gunung api atau vulkano paling sacral dan tertinngi di Bali.
             Semua ancaman dan bahaya berasal dari kekuatan “bawah dunia “ samudra yang tak terukur dan arah kehulu melalui laut. Kediaman manusia terlatak didunia penengah yaitu daratan subur antara gunung-gunung dan laut. Tugas manusia adalah mengupayakan keseimbangan dan harmoni antara dua kekuatan yang saling bertolak belakang tersebut. Roh-roh suci (para dewa  dan leluhur )yang tinggal digunung-gunung dihormati melalui pemujaan dan ibadat sedangkan roh-roh jahat (iblis dan penyihir) yang berdiam dilaut ditentramkan melalui “pemurnian”.
            Berdasarkan kepercayaan ini masyarakat Bali mempertahankan filosofi dasar “Rwe-bhineda atau Semara Ratih” berarti perdamaian dari kutub-kutub yang berbeda, elemen-elemen, norma-norma atau nilai-nilai. Mereka selalu berusaha mencapai kesatuan anatar Bhuwana Alit ( manusia-manusia atau individu, mikro-kosmos), yang akan membawa kemoksa (kesempurnaan).
            Filosofi dasar lain yang tak kalah penting disebut “ Tri Hita Karana” yang berarti tiga unsure kebaikan. Dasar dari filosofi ini adalah bahwa segala sesuatu didunia  mengandung tiga komponen
1.Atma ( jiwa)
2. sarira (badan fisik)
3. Tri Kaya (kekuatan atau kemampuan)
            Konsep dasar Tri Angga, yang berkaitan erat dengan desain dan perancanaan Arsitektur, berasal dari Tri Hita Karana. Konsep Tri Angga membagi segala sesuatu menjadi tiga komponenatau daerah yaitu: Nista (dasar<najis,kaki), madya (tengah, netral, badan), utama (atas,murni,kepala). Dunia fisik, kehidupan fisik kehidupan nyata dan waktu juga dianggap mengandung tiga komponen tersebut misalnya : Hidrosfir-Litosfir-Atmosfir, laut-daratan-gunung, roh jahat-manusia-dewa, masa lalu-masa kini-masa depan, dan sebagainya.




KONSEPSI BUDAYA TRADISIONAL BALI
Keberadaan manusia pada hakekatnya, terwujud sebagai manusia bersifat sosial dan manusia yang berbudaya, berbagai kondisi obyektif dan perjalanan historis mengakibatkan manusia berusaha mengembangkan sistem sosial dan sistem budayanya secara khas, seperti misalnya sistem sosial Bali sebagai salah satu sistem sosial budaya Indonesia, diantara kebhinekaan sistem sosial yang ada di Indonesia. Pengertian kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial yang digunakan untuk memahami dan menginterprestasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan. (Astika, 1986:4). Budaya tradisional Bali merupakan perwujudan pengaturan tingkah laku umat yang dilandasi agama Hindu dengan 3 (tiga) unsur kerangka dasar, yaitu; 1). Tatwa atau filsafat; 2). Susila atau etika; 3). Upacara atau ritual (Parisada Hindu Dharma, 1978:16). Sedangkan Meganada (1990:44), menjelaskan budaya Bali tidak bisa lepas dengan nilai-nilai agama Hindu yang mempunyai tiga unsur kerangka dasar (tatwa, susila, upacara) bagi umatnya untuk mencapai tujuan (Dharma), yang disebutkan dalam Weda; “Moksartham Jagadhita Ya Ca Iti Dharma”.
Dalam kehidupan sehari-hari dalam pembiasan-pembiasan yang berhubungan dengan tatwa, susila, upacara, lebih mengarah pada perwujudan untuk mencapai hubungan yang harmonis manusia (bhuana alit) dengan Tuhan Yang Maha Esa (bhuana agung), melahirkan suatu adat yang banyak mencakup aspek kehidupan berupa konsepsi-konsepsi.
Konsepsi Tri Hita Karana yang mengatur keseimbangan antara manusia sebagai bhuana alit dengan bhuana agung (alam semesta). Dalam kehidupan sehari-hari konsepsi ini, diwujudkan dalam ketiga unsur tunggal yang tercermin pada wadah interaksinya, yaitu pola rumah dan desa yang memenuhi ketiga unsur tesebut (Kaler, 1983:44). Konsepsi Tri Angga yang mengatur susunan unsur-unsur kehidupan manusia di alamnya/lingkungan fisik, yaitu; utama angga, madya angga, dan nista angga. Dalam kehidupan sehari-hari tercermin dalam hirarkhi tata nilai rumah maupun desa. Suatu adat atau kebiasaan yang juga memperlihatkan adanya keseimbangan hubungan manusia dengan alam, manusia dengan sesama dalam perhitungan ergonomis dan estetika bentuk bangunan adalah konsepsi Asta Kosala-Kosali dan Asta Bumi. (Astika, 1986:7).


FILOSOFI PERUMAHAN PERMUKIMAN TRADISIONAL BALI
Terwujudnya pola perumahan tradisional sebagai lingkungan buatan sangat terkait dengan sikap dan pandangan hidup masyarakat Bali, tidak terlepas dari sendi-sendi agama, adat istiadat, kepercayan dan sistem religi yang melandasi aspek-aspek kehidupan. Peranan dan pengaruh Agama Hindu dalam penataan lingkungan buatan, yaitu terjadinya implikasi agama dengan berbagai kehidupan bermasyarakat.
Rumah tradisional Bali selain menampung aktivitas kebutuhan hidup seperti: tidur, makan, istirahat juga untuk menampung kegiatan yang bertujuan untuk kepentingan psikologis, seperti melaksanakan upacara keagamaan dan adat. (Sulistyawati. dkk, 1985:15). Dengan demikian rumah tradisional sebagai perwujudan budaya sangat kuat dengan landasan filosofi yang berakar dari agama Hindu.
Agama Hindu mengajarkan agar manusia mengharmoniskan alam semesta dengan segala isinya yakni bhuana agung (Makrokosmos) dengan bhuana alit (Mikro kosmos), dalam kaitan ini bhuana agung adalah lingkungan buatan/bangunan dan bhuana alit adalah manusia yang mendirikan dan menggunakan wadah tersebut (Subandi, 1990).

                    Manusia (bhuana alit) merupakan bagian dari alam (bhuana agung), selain memiliki unsur-unsur pembentuk yang sama, juga terdapat perbedaan ukuran dan fungsi. Manusia sebagai isi dan alam sebagai wadah, senantiasa dalam keadaan harmonis dan selaras seperti manik (janin) dalam cucupu (rahim ibu). Rahim sebagai tempat yang memberikan kehidupan, perlindungan dan perkembangan janin tersebut, demikian pula halnya manusia berada, hidup, berkembang dan berlindung pada alam semesta, ini yang kemudian dikenal dengan konsep manik ring cucupu. Dengan alasan itu pula, setiap wadah kehidupan atau lingkungan buatan, berusaha diciptakan senilai dengan suatu Bhuana agung, dengan susuna unsur-unsur yang utuh, yaitu: Tri Hita Karana Tri Hita Karana yang secara harfiah Tri berarti tiga; Hita berarti kemakmuran, baik, gembira, senang dan lestari; dan Karana berarti sebab musabab atau sumbernya sebab (penyebab), atau tiga sebab/ unsur yang menjadikan kehidupan (kebaikan), yaitu: 1). Atma (zat penghidup atau jiwa/roh), 2). Prana (tenaga), 3). Angga (jasad/fisik) (Majelis Lembaga Adat, 1992:15).
                    Bhuana agung (alam semesta) yang sangat luas tidak mampu digambarkan oleh manusia (bhuana alit), namun antara keduanya memiliki unsur yang sama, yaitu Tri Hita Karana, oleh sebab itu manusia dipakai sebagai cerminan. Konsepsi Tri Hita Karana dipakai dalam pola perumahan tradisional yang diidentifikasi; Parhyangan /Kahyangan Tiga sebagai unsur Atma/jiwa, Krama/warga sebagai unsur Prana tenaga dan Palemahan/tanah sebagai unsur Angga/jasad (Kaler, 1983:44).
Konsepsi Tri Hita Karana melandasi terwujudnya susunan kosmos dari yang paling makro (bhuana agung/alam semesta) sampai hal yang paling mikro (bhuana alit/manusia). Dalam alam semesta jiwa adalah paramatma (Tuhan Yang Maha Esa), tenaga adalah berbagai tenaga alam dan jasad adalah Panca Maha Bhuta. Dalam perumahan (tingkat desa); jiwa adalah parhyangan (pura desa), tenaga adalah pawongan (masyarakat) dan jasad adalah palemahan (wilayah desa). Demikian pula halnya dalam banjar: jiwa adalah parhyangan (pura banjar), tenaga adalah pawongan (warga banjar) dan jasad adalah palemahan (wilayah banjar). Pada rumah tinggal jiwa adalah sanggah pemerajan (tempat suci), tenaga adalah penghuni dan jasad adalah pekarangan. Sedangkan pada manusia, jiwa adalah atman, tenaga adalah sabda bayu idep dan jasad adalah stula sarira/tubuh manusia. Penjabaran konsep Tri Hita Karana dalam susunan kosmos, dapat dilihat dalam Tabel 1.

Susunan/Unsur
Jiwa/Atma
Tenaga/Prana
Fisik/Angga
Alam Semesta (Bhuana Agung)
Paramatman (Tuhan Yang Maha Esa)
Tenaga (yang menggerakan alam)
Unsur-unsur panca maha bhuta
Desa
Kahyangan Tiga (pura desa)
Pawongan (warga desa)
Palemahan (wilayah desa)
Banjar
Parhyangan (pura banjar)
Pawongan (warga banjar)
Palemahan (wilayah banjar)
Rumah
Sanggah (pemerajan)
Penghuni rumah
Pekarangan rumah
Manusia (Bhuana Alit)
Atman (jiwa manusia)
Prana (tenaga sabda bayu idep)
Angga (badan manusia)
Sumber: Sulistyawati. dkk, (1985:5); Meganada, (1990:72).

Tri Hita Karana (tiga unsur kehidupan) yang mengatur kesimbangan atau keharmonisan manusia dengan lingkungan, tersusun dalam susunan jasad/angga, memberikan turunan konsep ruang yang disebut Tri Angga. Secara harfiah Tri berarti tiga dan Angga berarti badan, yang lebih menekankan tiga nilai fisik yaitu: Utama Angga, Madya Angga dan Nista Angga. Dalam alam semesta/Bhuana agung, pembagian ini disebut Tri Loka, yaitu: Bhur Loka (bumi), Bhuah Loka (angkasa), dan Swah Loka (Sorga). Ketiga nilai tersebut didasarkan secara vertikal, dimana nilai utama pada posisi teratas/sakral, madya pada posisi tengah dan nista pada posisi terendah/kotor.
Konsepsi Tri Angga berlaku dari yang bersifat makro (alam semesta/bhuana agung) sampai yang paling mikro (manusia/bhuana alit). Dalam skala wilayah; gunung memiliki nilai utama; dataran bernilai madya dan lautan pada nilai nista. Dalam perumahan, Kahyangan Tiga (utama), Perumahan penduduk (madya), Kuburan (nista), juga berlaku dalam skala rumah dan manusia. Susunan Tri Angga dalam susunan kosmos dapat dilihat dalam Tabel 2.
Tabel 2. Tri Angga dalam Susunan Kosmos


Susunan/Unsur
Utama Angga Sakral
Madya Angga Netral
Nista Angga Kotor
Alam Semesta
Swah Loka
Bwah Loka
Bhur Loka
Wilayah
Gunung
Dataran
Laut
Perumahan/Desa
Kahyangan Tiga
Pemukiman
Setra/Kuburan
Rumah Tinggal
Sanggah/Pemerajan
Tegak Umah
Tebe
Bangunan
Atap
Kolom/Dinding
Lantai/Bataran
Manusia
Kepala
Badan
Kaki
Masa/Waktu
Masa depan
Watamana
Masa kini
Nagata
Masa lalu
Atita
Sumber: Sulistyawati. dkk, (1985:6); Adhika (1994).

Tri Angga yang memberi arahan tata nilai secara vertikal (secara horisontal ada yang menyebut Tri Mandala), juga terdapat tata nilai Hulu-Teben, merupakan pedoman tata nilai di dalam mencapai tujuan penyelarasan antara Bhuana agung dan Bhuana alit. Hulu-Teben memiliki orientasi antara lain: 1). berdasarkan sumbu bumi yaitu: arah kaja-kelod (gunung dan laut), 2). arah tinggi-rendah (tegeh dan lebah), 3). berdasarkan sumbu Matahari yaitu; Timur-Barat (Matahari terbit dan terbenam) (Sulistyawati. dkk, 1985:7).
Tata nilai berdasarkan sumbu bumi (kaja/gunung-kelod/laut), memberikan nilai utama pada arah kaja (gunung) dan nista pada arah kelod (laut), sedangkan berdasarkan sumbu matahari; nilai utama pada arah matahari terbit dan nista pada arah matahari terbenam. Jika kedua sistem tata nilai ini digabungkan, secara imajiner akan terbentuk pola Sanga Mandala, yang membagi ruang menjadi sembilan segmen. (Adhika; 1994:19).
Konsep tata ruang Sanga Mandala juga lahir dari sembilan manifestasi Tuhan dalam menjaga keseimbangan alam menuju kehidupan harmonis yang disebut Dewata Nawa Sanga (Meganada, 1990:58) dan lihat Gambar 2.
Konsepsi tata ruang Sanga Mandala menjadi pertimbangan dalam penzoningan kegiatan dan tata letak bangunan dalam pekarangan rumah, dimana kegiatan yang dianggap utama, memerlukan ketenangan diletakkan pada daerah utamaning utama (kaja-kangin), kegiatan yang dianggap kotor/sibuk diletakkan pada daerah nistaning nista (klod-kauh), sedangkan kegiatan diantaranya diletakkan di tengah (Sulistyawati. dkk, 1985:10). Dalam turunannya konsep ini menjadi Pola Natah (Adhika, 1994:24) dan jelasnya lihat Gambar 3.


Dalam skala perumahan (desa) konsep Sanga Mandala, menempatkan kegiatan yang bersifat suci (Pura Desa) pada daerah utamaning utama (kaja-kangin), letak Pura Dalem dan kuburan pada daerah nisthaning nista (klod-kauh), dan permukiman pada daerah madya, ini terutama terlihat pada perumahan yang memiliki pola Perempatan (Catus Patha). (Paturusi; 1988:91). Sedangkan Anindya (1991:34) dalam lingkup desa, konsep Tri Mandala, menempatan: kegiatan yang bersifat sakral di daerah utama, kegiatan yang bersifat keduniawian (sosial, ekonomi dan perumahan) madya, dan kegiatan yang dipandang kotor mengandung limbah daerah nista. Ini tercermin pada perumahan yang memiliki pola linier.Konsep tata ruang yang lebih bersifat fisik mempunyai berbagai variasi, namun demikian pada dasarnya mempunyai kesamaan sebagai berikut yaitu: 1). Keseimbangan kosmologis (Tri Hita Karana), 2). Hirarkhi tata nilai (Tri Angga), 3). Orientasi kosmologis (Sanga Mandala), 4). Konsep ruang terbuka (Natah), 5). Proporsi dan skala, 6). Kronologis dan prosesi pembangunan, 7). Kejujuran struktur (clarity of structure), 8). Kejujuran pemakaian material (truth of material). (Juswadi Salija, 1975; dalam Eko Budihardjo, 1986). Lihat Gambar 4.
Munculnya variasi dalam pola tata ruang rumah dan perumahan di Bali karena adanya konsep Tri Pramana, sebagai landasan taktis operasional yang dikenal dengan Desa-Kala-Patra (tempat, waktu dan keadaan) dan Desa-Mawa-Cara yang menjelaskan adanya fleksibilitas yang tetap terarah pada landasan filosofinya, dan ini ditunjukkan oleh keragaman pola desa-desa di Bali. (Meganada: 1990:51).
Perumahan tradisional Bali juga memiliki konteks kehidupan pribadi dan masyarakat serta pantangan-pantangan. Dalam konteks pribadi seperti halnya menentukan dimensi pekarangan dan proporsi bangunan memakai ukuran bagian tubuh penghuni/kepala keluarga, seperti; tangan, kaki dan lainnya. (Meganada: 1990:61). Dasar pengukuran letak bangunan dalam pekarangan memakai telapak kaki dengan hitungan Asta Wara (Sri, Guru, Yama, Rudra, Brahma, Kala, Uma) ditambah pengurip. (Adhika, 1994:25). Lihat Gambar 5. dan 6.
Di dalam menentukan atau memilih tata letak pekarangan rumah pun menurut aturan tradisional Bali ada beberapa pantangan yang harus diperhatikan yaitu:

1. Pekarangan rumah tidak boleh bersebelahan langsung ada disebelah Timur atau Utara pura, bila tidak dibatasi dengan lorong atau pekarangan lain seperti: sawah, ladang/sungai. Pantangan itu disebut: Ngeluanin Pura.

2. Pekarangan rumah tidak boleh Numbak Rurung, atau Tusuk Sate. Artinya jalan lurus langsung bertemu dengan pekarangan rumah.

3. Pekarangan rumah tidak boleh diapit oleh pekarangan/rumah sebuah keluarga lain. Pantangan ini dinamakan: Karang Kalingkuhan.

4. Pekarangan rumah tidak boleh dijatuhi oleh cucuran atap dari rumah orang lain. Pantangan ini dinamakan: Karang Kalebon Amuk.

5. Pekarangan rumah sebuah keluarga tidak boleh berada sebelah- menyebelah jalan umum dan berpapasan. Pantangan ini dinamakan: Karang Negen.

6. Pekarangan rumah yang sudut Barat Dayanya bertemu dengan sudut Timur Lautnya pekarangan rumah keluarga itu juga berada sebelah-menyebelah jalan umum, ini tidak boleh. Pantangan ini dinamakan: Celedu Nginyah.

7. Dan lain sebagainya.


PERUMAHAN PERMUKIMAN TRADISIONAL BALI
Pengertian Perumahan Tradisional Bali atau secara tradisional disebut desa (adat), merupakan suatu tempat kehidupan yang utuh dan bulat yang terdiri dari 3 unsur, yaitu: unsur kahyangan tiga (pura desa), unsur krama desa (warga), dan karang desa (wilayah) (Sulistyawati, 1985:3). Sedangkan menurutGelebet (1986: 48), perumahan atau pemukiman tradisional merupakan tempat tinggal yang berpola tradisional dengan perangkat lingkungan dengan latar belakang norma-norma dan nilai-nilai tradisional.
Perumahan Tradisional Bali yang dilandasi konsepsi seperti; hubungan yang harmonis antara Bhuana Agung dengan Bhuana Alit, Manik Ring Cucupu, Tri Hita Karana, Tri Angga, Hulu-Teben sampai melahirkan tata nilai Sanga Mandala yang memberi arahan tata ruang, baik dalam skala rumah (umah) maupun perumahan (desa). Hasil dari penurunan konsep tata ruang ini sangat beragam, namun Ardi P. Parimin (1986) menyimpulkan adanya 4 atribut dalam perumahan tradisional Bali, yaitu:

1. Atribut Sosiologi menyangkut sistem kekerabatan masyarakat Bali yang dicirikan dengan adanya sistem desa adat, sistem banjar, sistem subak, sekeha, dadia, dan perbekalan.

2. Atribut Simbolik berkiatan dengan orientasi perumahan, orientasi sumbu utama desa, orientasi rumah dan halamannya.

3. Atribut Morpologi menyangkut komponen yang ada dalam suatu perumahan inti (core) dan daerah periphery di luar perumahan, yang masing-masing mempunyai fungsi dan arti pada perumahan tradisional Bali.

4. Atribut Fungsional menyangkut fungsi perumahan tradisional Bali pada dasarnya berfungsi keagamaan dan fungsi sosial yang dicirikan dengan adanya 3 pura desa.





 Berdasarkan patokan dasar diatas maka akan diidentifikasi aset-aset yang ada pada perumahan tradisional Bali yang meliputi aspek sosial, aspek simbolis, aspek morpologis dan aspek fungsional.

1. Aspek Sosial
Dalam pandangan masyarakat Bali konsep teritorial memiliki dua pengertian, yaitu: pertama, teritorial sebagai satu kesatuan wilayah tempat para warganya secara bersama-sama melaksanakan upacara-upacara dan berbagai kegiatan sosial yang ditata oleh suatu sistem budaya dengan nama desa adat; dan kedua, desa sebagai kesatuan wilayah administrasi dengan nama desa dinas atau perbekalan. (Depdikbud, 1985). Sistem kemasyarakatan (organisasi) desa merupakan pengikat warga yang diatur dengan awig-awig desa, kebiasaan dan kepercayaan (Bappeda, 1982:32).
Dalam skala yang lebih kecil sebagai bagian (sub unit) desa dikenal banjar baik adat maupun dinas. Pengertian Banjar kaitannya dengan desa adat di Bali adalah kelompok masyarakat yang lebih kecil dari desa adat serta merupakan persekutuan hidup sosial, dalam keadaan senang maupun susah, berdasarkan persekutuan hidup setempat atau kesatuan wilayah (Agung, 1984: 18-29; Covarrubias, 1986: 39-70). Banjar sebagai lembaga tradisional merupakan bagian desa juga memiliki tiga unsur, hanya saja unsur kahyangan tiga berupa fasilitas lingkungan berupa Bale banjar yang dilengkapi Pura Banjar, sebagai tempat pertemuan, kegiatan sosial, upacara dan orientasi warga banjar. (Adhika, 1994:2).
Dari kesatuan wilayah, tidak ada ketentuan satu desa dinas terdiri beberapa desa adat atau sebaliknya, tapi menunjukkan variasi. Variasinya cukup beraneka ragam dan kompleks, antara lain: 1). Satu desa dinas terdiri dari satu desa adat, 2). Satu desa dinas mencakup beberapa desa adat, 3). Satu desa adat mencakup beberapa desa dinas, 4). Kombinasi 2 dan 3.
Untuk memproleh pengertian tentang komunitas masyarakat Bali, maka penggambaran tentang ciri-cirinya akan diperinci menurut aspek-aspek sebagai berikut: legitimasi, atribut-atribut dan ciri khusus.

a. Legitimasi
Disamping adanya pengakuan formal, maka legitimasi suatu komunitas berkembang pula dikalangan warga menurut persepsinya dengan ciri: 1). Adanya perasaan cinta dan terkait kepada wilayah tersebut, 2). Adanya rasa kepribadian kelompok, 3). Adanya pola hubungan yang bersifat intim dan cendrung bersifat suka rela, 4). Adanya suatu tingkat penghayatan dari sebagian besar lapangan kehidupannya secara bulat.
Beberapa syarat pokok terbentuknya desa adat, yaitu: 1). Adanya wilayah dengan batas-batas tertentu yang disebut dengan palemahan desa atau tanah desa, 2). Adanya warga desa yang disebut pawongan desa. Sistem kemasyarakatan di Bali mewajibkan kepada orang yang telah makurenan (berumah tangga) dan bertempat tinggal di wilayah suatu desa adat untuk menjadi krama banjar (Anonim, 1983), 3). Adanya pura sebagai pusat pemujaan warga desa yang disebut kahyangan tiga, 4). Adanya suatu pemerintahan adat yang berlandasan pada aturan-aturan adat tertentu/awig-awig desa. (Bappeda, 1982:31).

b. Atribut Desa Adat Atribut pokok dari suatu komunitas kecil yang terwujud sebagai desa adat di Bali tersimpul dalam konsepsi Tri Hita Karana sebagai berikut:

1. Kahyangan Tiga, yang terdiri dari tiga pura sebagai pusat pemujaan warga desa, yaitu pura puseh, Bale Agung dan pura dalem. Untuk satuan banjar yang merupakan sub bagian desa terdapat fasilitas umum berupa Bale Banjar yang dilengkapi Bale Kulkul dan pura banjar.

2. Pawongan Desa, yaitu seluruh warga desa yang bersangkutan. Sebagai warga inti adakah setiap pasangan suami istri yang telah berkeluarga. Menurut jumlah anggotanya, banjar di Bali dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: banjar besar, bila jumlah anggotanya lebih dari 50 kuren (kepala keluarga), banjar kecil bila anggotanya lebih sedikit dari 50 kuren. Besaran yang efektif dalam desa adat di Bali adalah sekitar 200 KK setiap banjar. Maka bila rata-rata masing-masing KK ada lima orang maka setiap banjar (penyatakan) terdiri sekitar seribu jiwa. Penelitian Prof. Antonic terhadap desa-desa adat dan dinas di Bali menyimpilkan besaran efektif untuk sebuah desa adalah lima ribu jiwa (Bappeda, 1976:14).

3. Palemahan Desa, yaitu wilayah desa yang merupakan tempat perumahan warga desa. Perumahan berada pada kedua belah sisi megikuti pola jalan, Bale Banjar sebagai fasilitas sosial umumnya terletak pada posisi yang strategis, seperti pada satu sudut persilangan atau pertigaan jalan di tengah-tengah lingkungan bajar (Putra, 1988).

Disamping atribut pokok tersebut, masih perlu dikemukakan beberapa fasilitas dan pelayanan desa yang menjadi simbol suatu komunitas masyarakat Bali yang terwujud sebagai Desa adat, yaitu: 1). Balai Pertemuan (Banjar) tempat terselenggaranya rapat-rapat desa, 2). Kuburan desa yang biasanya terletak berdekatan dengan pura dalem, 3). Perempatan Desa merupakan tempat yang dianggap keramat dan juga sebagai tempat upacara, 4). Tata susunan perumahan yang mengikuti konsep Tri Mandala, yaitu: Utama, Madya, dan Nista.

Desa adat sebagai suatu komunitas dengan fokus fungsinya dibidang adat dan agama, seperti; uapacara Odalan, Galungan, Nyepi (Tawur Kesanga), sedangkan dalam skala banjar adat, seperti; pemeliharaan pura, upacara perkawinan, kematian dan membangun rumah. Dalam menjalankan fungsinya itu, tiap-tiap desa adat mempunya kedudukan yang otonom, dalam arti tiap desa adat berdiri sendiri menuruti aturan-aturan (awig-awig desa). Bidang pemerintahan berada di tangan urusan desa dinas, menangani fungsi, antara lain: administrasi pemerintahan, pembangunan desa, upacara nasional serta keamanan desa. Dalam hal kedinasan itu, desa dinas membawahi sejumlah banjar dinas.

2. Aspek Simbolik
Aspek simbolik pada perumahan adalah berkenaan dengan orientasi kosmologis. Kegiatan masyarakat Bali pada umumnya dapat dibagi atas dua kegiatan, yaitu: kegiatan yang bersifat sakral (berkaitan dengan kegiatan keagamaan), dan kegiatan yang bersifat profan (berkaitan dengan kegiatan sosial masyarakat). Penempatan kegiatan tersebut dibedakan berdasarkan orientasi kesakralannya.
Elemen-elemen ruang yang dijadikan indikator kesakralan perumahan adalah: 1). Sumbu perumahan berupa jalan utama (arah kaja- kelod) atau ruang utama pada perumahan, 2). Lokasi pura puseh (pura leluhur), 3). Lokasi pura dalem (pura kematian), dan 4). Bale Banjar.
Orientasi arah sakral pada tingkat perumahan dapat mengarah:

1. Ke arah gunung atau tempat yang tinggi dimana arwah leluhur bersemayam.

2. Sumbu jalan (kaja-kelod) yang menuju ke dunia leluhur yang bersemayam di gunung (kaja).

3. Mengarah ke elemen-elemen alam lainnya.

4. Arah kaja kangin yaitu arah ke gunung Agung.
Sanga Mandala yang dilandasi konsep Nawa Sanga adalah konsep tradisional yang didasarkan pada orientasi kosmologis masyarakat Bali sebagai pengejawantahan cara menuju ke kehidupan harmonis (Budihardjo, 1968). Nawa sanga menunjuk ke arah delapan penjuru angin ditambah titik pusat di tengah. Dari kesembilan orientasi ini yang paling dominan adalah orientasi dengan gunung-laut dan sumbu terbit-terbenamnya matahari. Daerah yang paling sakral selalu ditempatkan pada arah gunung (kaja-kangin), sedang daerah yang sifatnya profan ditempatkan pada arah yang menuju ke laut (kelod-kauh).
Berdasarkan urut-urutan tingkat kesakralan, dari paling sakral ke paling profan elemen bangunan rumah diurutkan sebagai berikut: Sanggah (pura rumah tangga), pengijeng, Bale adat bale gede, meten, bale (ruang serba guna), pawon (dapur), jineng (lumbung), kandang ternak, teben (halaman belakang). (Parimin, 1968).

3. Aspek Morpologis
Kegiatan dalam perumahan tradisional dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) peruntukan, yaitu: peruntukan inti, peruntukan terbangun, dan peruntukan pinggiran (lihat Gambar. 7).
Peruntukan inti pada perumahan yang berpola linear terletak pada sumbu jalan menyatu dengan peruntukan terbangun, atau pada jalan utama yang menuju ke pura desa. Pada perumahan yang berpola perempatan (Catur patha) peruntukan inti berada pada persimpangan jalan tersebut. Peruntukan inti umumnya bangunan yang memiliki fungsi sosial, seperti; Jineng (lumbung desa), Bale banjar dan Wantilan (Parimin, 1968:91).
Peruntukan terbangun adalah merupakan wilayah lama, berupa bangunan perumahan yang dibangun pada awal terbentuknya rumah tersebut, biasanya berada disekitar peruntukan inti. Peruntukan pinggiran adalah wilayah yang terletak di luar wilayah terbangun, tetapi masih dibawah kontrol desa adat. Beberapa desa adat peruntukan pinggiran terletak pura desa /dalem.

4. Aspek Fungsional
Aspek fungsional adalah fungsi elemen ruang dalam kaitannya dengan orientasi kosmologis, yang tercermin pada komposisi dan formasi ruang. Dari konsep Sanga Mandala yang bersifat abstrak diterjemahkan ke dalam kosep fisik, baik dalam skala rumah dan perumahan. Pada skala rumah, tiap segmen peruntukan didasarkan atas tingkat sakral dan profan. Elemen ruang xang paling sakral seperti Merajan (pura rumah tangga) ditempatkan pada segmen sakral (utama), yaitu kaja-kangin. Meten (tempat tidur), dan tempat bekerja ditempatkan pada segmen madya, kandang ternak atau kotoran ditempatkan pada segmen nista. Dalam skala permukiman, penerapan konsep Sanga Mandala , ada 3 macam pola tata ruang, yaitu:

a. Pola Perempatan (Catus Patha)
Pola Perempatan, jalan terbentuk dari perpotongan sumbu kaja - kelod (utara-selatan) dengan sumbu kangin-kauh (timur-barat). Berdasarkan konsep Sanga Mandala, pada daerah kaja-kangin diperuntukan untuk bangunan suci yaitu pura desa. Letak Pura Dalem (kematian) dan kuburan desa pada daerah kelod-kauh (barat daya) yang mengarah ke laut. Peruntukan perumahan dan Banjar berada pada peruntukan madya (barat-laut). Untuk jelasnya lihat Gambar 8 dan 11.

b. Pola Linear Pada pola linear konsep Sanga Mandala tidak begitu berperan. Orientasi kosmologis lebih didominasi oleh sumbu kaja-kelod (utara-selatan) dan sumbu kangin-kauh (timur-barat).
Pada bagian ujung Utara perumahan (kaja) diperuntukan untuk Pura (pura bale agung dan pura puseh). Sedang di ujung selatan (kelod) diperuntukan untuk Pura Dalem (kematian) dan kuburan desa.Diantara kedua daerah tersebut terletak perumahan penduduk dan fasilitas umum (bale banjar dan pasar) yang terletak di plaza umum, seperti dijelaskan Gambar 9.
Pola linear pada umumnya terdapat pada perumahan di daerah pegunungan di Bali, dimana untuk mengatasi geografis yang berlereng diatasi dengan terasering.

c. Pola Kombinasi
Pola kombinasi merupakan paduan antara pola perempatan (Catus patha) dengan pola linear. Pola sumbu perumahan memakai pola perempatan, namun demikian sistem peletakan elemen bangunan mengikuti pola linear. Peruntukan pada fasilitas umum terletak pada ruang terbuka (plaza) yang ada di tengah-tengah perumahan. Lokasi bagian sakral dan profan masing-masing terletak pada ujung utara dan selatan perumahan. Jelasnya lihat Gambar 10.
Pola tata ruang yang dikemukakan di atas merupakan penyederhanaan daripada pola tata ruang yang pada kenyataannya sangat bervariasi. Setiap daerah perumahan di Bali mempunyai pola tersendiri yang disebabkan oleh faktor yang telah dikemukakan pada uraian Aspek Sosial. Dari ilustrasi tersebut perumahan tradisional Bali dapat diklasifikasikan dalam 2 type, yaitu:

1. Type Bali Aga merupakan perumahan penduduk asli Bali yang kurang dipengaruhi oleh Kerajaan Hindu Jawa. Lokasi perumahan ini terletak di daerah pegunungan yang membentang membujur di tangah-tangah Bali, sebagian beralokasi di Bali Utara dan Selatan. Bentuk fisik pola perumahan Bali Aga dicirikan dengan adanya jalan utama berbentuk linear yang berfungsi sebagai ruang terbuka milik komunitas dan sekaligus sebagai sumbu utama desa. Contoh perumahan Bali Aga: Julah (di Buleleng), Tenganan, Timbrah dan Bugbug (di Karangasem).

2. Type Bali Dataran, merupakan perumahan tradisional yang banyak dipengaruhi oleh Kerajaan Hindu Jawa. Perumahan type ini tersebar di dataran bagian selatan Bali yang berpenduduk lebih besar diabndingkan type pertama. Ciri utama perumahan ini adalah adanya Pola perempatan jalan yang mempunyai 2 sumbu utama, sumbu pertama adalah jalan yang membujur arah Utara-Selatan yang memotong sumbu kedua berupa jalan membujur Timur-Barat (Parimin, 1986).

 KESIMPULAN

Dalam budaya tradisional Bali yang dilandasi agama Hindu, dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan Tatwa, Susila, dan Upacara untuk mecapai tujuan (Dharma), yaitu “Moksartham Jagadhita Ya Ca Iti Dharma”, dimana harus tercapai hubungan yang harmonis antara alam semesta yang merupakan Bhuana agung (makro kosmos) dengan manusia sebagai Bhuana alit (Mikro kosmos). Dalam hal ini, perumahan (Bhuana agung) sedangkan manusia (Bhuana alit) yang mendirikan dan menempati wadah tersebut. Hubungan antara Bhuana agung dengan Bhuana alit yang harmonis dapat tercapai melalui unsur-unsur kehidupan yang sama yatu “ Tri Hita Karana”.
Perumahan tradisional Bali sebagai wadah yang memiliki landasan Tatwa; yaitu lima kepercayaan agama Hindu (Panca Srada), Susila; etika dalam mencapai hubungan yang harmonis, dan Upacara; pelaksanaan lima macam persembahan (Panca Yadnya). Rumah tradisional Bali selain menampung aktivitas kebutuhan hidup sehari-hari, juga untuk menampung kegiatan upacara agama Hindu dan adat, memiliki landasan filosofi hubungan yang harmonis antara Bhuana agung dengan Bhuana alit, konsepsi Manik Ring Cucupu, Tri Hita Karana, hirarkhi tata nilai Tri Angga, Hulu-Teben, sampai melahirkan konsep Sanga Mandala yang membagi ruang menjadi sembilan segmen berdasarkan tingkat nilai ke -Utama-annya. Konsepsi-konsepsi ini juga berlaku untuk perumahan tradisional.
Penerapan konsepsi-konsepsi perumahan tradisional Bali sesuai dengan konsep Tri Pramana (Desa, Kala, Patra) yang menjadi landasan taktis operasional, mewujudkan pola perumahan yang bervariasi di Bali, namun dapat diidentifikasi 4 (empat) atribut antara lain:

1. Aspek Sosial; yang menyangkut sistem kemasyarakatan yang dikenal desa/banjar (adat), yang memiliki ciri-ciri, seperti: adanya legitimasi dan atribut desa adat atau banjar.
2. Aspek Simbolik; berkenaan dengan orientasi kosmologis antara lain orientasi arah sakral (kaja-kangin) dan Sanga Mandala atau Tri Mandala.
3. Aspek Morfologis; yang secara morfologis kegiatan-kegiatan dalam perumahan tradisional dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu: inti (fasilitas banjar/pura), terbangun (perumahan) dan pinggiran (belum terbangun).
4. Aspek Fungsional; berkaitan dengan orientasi kosmologis (Sanga Mandala) yang tercermin pada tata letak ruang. Dalam skala rumah, Sanggah (Utama), Meten/tempat tidur (Madya) dan yang kotor (KM/WC) pada daerah Nistha. Dalam skala perumahan sesuai dengan peletakan fasilitas dan jaringan jalan melahirkan pola Perempatan (Catus Patha), Linier dan Kombinasi.


Sumber Refrensi :

http://Ferry Pey YugGa Milanisti /Arsitektur Tradisional Bali.htm










DAFTAR PUSTAKA



Adhika, I Made. 1994. Peran Banjar dalam Penataan Komunitas, Studi Kasus Kota Denpasar. Bandung: Tesis Program S2 Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota ITB.

Astika, Sudhana Ketut, dkk. 1986. Peranan Banjar pada Masyarakat Bali. Denpasar: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.

Bappeda Tingkat I Bali dan Universitas Udayana. 1982. Pengembangan Arsitektur Tradisional Bali untuk Keserasian Alam Lingkungan, Sikap Hidup, Tradisi dan Teknologi. Denpasar: Bappeda Tingkat I Bali.
Budihardjo, Eko. 1986. Architectural Conservation in Bali. Yogyakarta: Penerbit Gajah Mada University Press.
Seoroto, Myrta. 2003. Dari Arsitektur Tradisional menuju Arsitektur Indonesia. Myrtle publishing  berkerjasama dengan yayasan 66